Advanced Search

Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014


Read law translated into English here: https://www.global-regulation.com/translation/indonesia/8423954/peraturan-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-kesehatan-nomor-1-tahun-2014.html

Subscribe to a Global-Regulation Premium Membership Today!

Key Benefits:

Subscribe Now for only USD$40 per month.

Teks tidak dalam format asli.
Kembali


image
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No.1, 2014 BPJS. Jaminan Kesehatan. Penyelenggaraan Pedoman.


PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN
NOMOR 1 TAHUN 2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR UTAMA
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

Menimbang :  bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal, Pasal 15, Pasal 17 ayat (7), Pasal 17 A ayat (6), Pasal 26 ayat (3), Pasal 31, Pasal 40 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, perlu ditetapkan Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan;
Mengingat  :  1.  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
2.  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3  . Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
4.  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);
5.  Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5372);
6.  Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 29) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 255);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :  PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini, yang dimaksud dengan:
1.  Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
2.  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan.
3.  Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
4.  Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan.
5.  Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disingkat PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program Jaminan Kesehatan.
6.  Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dan/atau anggota keluarganya.
7.  Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.
8.  Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap.
9.  Rawat jalan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik yang dilaksanakan pada pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk keperluan observasi, diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.
10.Rawat inap tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik dan dilaksanakan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, untuk keperluan observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan medis lainnya, dimana peserta dan/atau anggota keluarganya dirawat inap paling singkat 1 (satu) hari.
11.Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan adalah upaya pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan dan rawat inap diruang perawatan khusus.
12.Pelayanan kesehatan lain adalah pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
13.Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
14.Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit.
15.Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik, baik vertikal maupun horizontal.
16.Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri adalah Pegawai Tidak Tetap, Pegawai Honorer, Staf Khusus, dan pegawai lain yang dibayarkan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
17.Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut TNI adalah personil/prajurit alat negara di bidang pertahanan yang melaksanakan tugasnya secara matra di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan atau gabungan di bawah Pimpinan Panglima TNI.
18.Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melaksanakan fungsi kepolisian.
19.Virtual Account adalah nomor rekening virtual yang disediakan oleh BPJS Kesehatan untuk entitas dan perorangan sebagai rekening tujuan dalam pembayaran iuran Jaminan Kesehatan.
20.Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan meliputi:
a.  kepesertaan;
b.  iuran kepesertaan;
c.  penyelenggara pelayanan kesehatan;
d.  kendali mutu dan kendali biaya; dan
e.  pelaporan dan utilization review.

BAB II
KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Kepesertaan jaminan kesehatan meliputi:
a.  peserta;
b.  pendaftaran peserta;
c.  verifikasi dan identifikasi peserta;
d.  hak dan kewajiban peserta;
e.  perubahan data dan status peserta;

Bagian Kedua
Peserta
Paragraf 1
Umum
Pasal 4
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas :
a.  peserta PBI Jaminan Kesehatan; dan
b.  peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan.

Paragraf 2
Peserta PBI Jaminan Kesehatan
Pasal 5
Peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri atas:
a.  Orang yang tergolong fakir miskin; dan
b.  Orang tidak mampu.

Paragraf 3
Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan
Pasal 6
Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b terdiri atas:
a.  Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan anggota keluarganya ;
b.  Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan anggota keluarganya;
c.  Bukan Pekerja dan anggota keluarganya.

Pasal 7
Peserta Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan anggota keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas :
a.  Pegawai Negeri Sipil;
b.  Anggota TNI;
c.  Anggota Polri;
d.  Pejabat Negara;
e.  Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f.  Pegawai swasta; dan
g.  Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima Upah.

Pasal 8
Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan anggota keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b terdiri atas:
a.  Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b.  Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.

Pasal 9
(1)  Bukan Pekerja dan anggota keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c terdiri atas:
a.  Investor;
b.  Pemberi Kerja;
c.  Penerima Pensiun;
d.  Veteran;
e.  Perintis Kemerdekaan;
f.  janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan; dan
g.  bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar iuran.
(2)  Penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a.  Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b.  Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c.  Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d.  janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang mendapat hak pensiun;
e.  penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c;
f.  janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf e yang mendapat hak pensiun.

Pasal 10
(1)  Anggota keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 meliputi istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(2)  Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan kriteria:
a.  tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
b.  belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
(3)  Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.
(4)  Anggota keluarga yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi anak ke 4 (empat) dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.

Bagian Ketiga
Pendaftaran Peserta
Paragraf 1
Umum
Pasal 11
(1)  Pendaftaran peserta Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan, baik sendiri-sendiri maupun kelompok.
(2)  Pendaftaran peserta Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara:
a.  migrasi data; atau
b.  manual.

Pasal 12
Pendaftaran peserta Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan untuk:
a.  PBI Jaminan Kesehatan; dan
b.  Bukan PBI Jaminan Kesehatan.


Paragraf 2
Pendaftaran Peserta PBI Jaminan Kesehatan
Pasal 13
(1)  Pendaftaran peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan oleh Menteri.
(2)  Menteri dalam mendaftarkan peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara migrasi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a sesuai dengan format yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.

Paragraf 3
Pendaftaran Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan
Pasal 14
Pendaftaran peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dilakukan terhadap:
a.  Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan anggota keluarganya;
b.  Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan anggota keluarganya;
c.  Bukan Pekerja dan anggota keluarganya.

Pasal 15
(1)  Pendaftaran peserta Jaminan Kesehatan bagi Pekerja Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan oleh Pemberi Kerja.
(2)  Pendaftaran peserta bagi Pekerja Penerima Upah dilakukan secara kelompok melalui entitasnya kepada BPJS Kesehatan.
(3)  Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara migrasi data sesuai dengan format yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan atau secara manual.
(4)  Pendaftaran secara migrasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling sedikit untuk 1000 (seribu) calon peserta.
(5)  Pendaftaran secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara:
a.  datang langsung ke kantor BPJS Kesehatan atau melalui pihak ketiga yang ditunjuk oleh BPJS Kesehatan;
b.  mengisi formulir dan menyerahkan kelengkapan data calon peserta.
(6)  Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a meliputi:
a.  perbankan;
b.  asosiasi profesi atau asosiasi lain;
c.  retail; dan
d.  lembaga lainnya.

Pasal 16
(1)  Dalam hal Pemberi Kerja secara nyata-nyata tidak mendaftarkan Pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai peserta Jaminan Kesehatan.
(2)  Iuran peserta bagi Pekerja yang mendaftarkan dirinya sebagai peserta Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Jaminan Kesehatan.

Pasal 17
(1)  Pemberi Kerja dalam mendaftarkan pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) harus melengkapi data calon peserta yang memuat paling sedikit:
a.  nama calon peserta;
b.  nomor induk kependudukan;
c.  tanggal lahir; dan
d.  nama fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan dipilih oleh calon peserta.
(2)  BPJS Kesehatan setelah menerima data calon peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan peserta ke fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dipilih oleh calon peserta.
(3)  Dalam hal peserta tidak memilih fasilitas tingkat pertama, BPJS Kesehatan menetapkan fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Pasal 18
(1)  Pendaftaran Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dan huruf c dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan kepada BPJS Kesehatan.
(2)  Pekerja Bukan Penerima Upah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk Pensiunan TNI, Pensiunan Polri, Pensiunan PNS, Pensiunan Pejabat Negara, Veteran dan Perintis Kemerdekaan.

Pasal 19
(1)  Pendaftaran Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilakukan di kantor BPJS Kesehatan yang wilayah kerjanya meliputi daerah tempat calon peserta berdomisili atau melalui pihak ketiga yang ditunjuk BPJS Kesehatan.
(2)  Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a.  kolektif, secara:
1.  manual dengan mengisi dan menyerahkan formulir daftar isian peserta serta melampirkan pas foto berwarna; atau
2.  migrasi data yang disampaikan dalam bentuk format data yang disepakati dan menyerahkan pas foto berwarna.
b.  sendiri-sendiri dengan cara mengisi Formulir Daftar Isian Peserta (FDIP), melampirkan pas foto dan menunjukan/memperlihatkan dokumen:
1.  Asli/foto copy Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga.
2.  Bagi WNA menunjukan Kartu Ijin Tinggal Sementara / Tetap (KITAS/KITAP)

Pasal 20
Penduduk yang belum memiliki Jaminan Keehatan pada suatu daerah dapat didaftarkan oleh Pemerintah Daerah tempat penduduk yang bersangkutan domisili.

Bagian Keempat
Verifikasi dan Identitas Peserta
Pasal 21
(1)  Verifikasi dan identitas peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dilakukan oleh BPJS Kesehatan setelah menerima data yang diajukan oleh calon peserta.
(2)  Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan/atau tidak benar, BPJS Kesehatan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja harus memberitahukan kepada calon peserta untuk menyampaikan data secara lengkap dan benar.

Pasal 22
Calon peserta dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus menyampaikan kembali data secara lengkap dan benar kepada BPJS Kesehatan.

Pasal 23
(1)  Apabila berdasarkan hasil verifikasi data calon peserta sudah dinyatakan lengkap dan benar, BPJS Kesehatan menerbitkan Kartu Identitas Peserta Jaminan Kesehatan.
(2)  Kartu Identitas Peserta Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.  nomor kepesertaan;
b.  nama peserta;
c.  tanggal lahir
d.  nomor induk kependudukan;
e.  nama fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan dipilih oleh calon peserta.
f.  tanggal penerbitan kartu.
(3)  BPJS Kesehatan melakukan perekaman dan memelihara data Peserta Jaminan Kesehatan dalam sistem database (master file) BPJS Kesehatan.

Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Peserta
Pasal 24
Hak dan kewajiban setiap peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d menjamin terselenggaranya Jaminan Kesehatan oleh BPJS Kesehatan kepada peserta.

Pasal 25
(1)  Setiap peserta mempunyai hak untuk:
a.  mendapatkan identitas peserta;
b.  mendapatkan Nomor Virtual Account ;
c.  memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;
d.  memperoleh manfaat Jaminan Kesehatan;
e.  menyampaikan pengaduan kepada Fasilitas Kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan yang bekerja sama;
f.  mendapatkan informasi pelayanan kesehatan; dan
g.  mengikuti program asuransi kesehatan tambahan.
(2)  Manfaat Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan dan dilakukan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.


Pasal 26
Setiap peserta wajib:
a.  membayar iuran;
b.  melaporkan perubahan data kepesertaan;
c.  melaporkan perubahan status kepesertaan; dan
d.  melaporkan kerusakan dan/atau kehilangan kartu identitas Peserta Jaminan Kesehatan.

Bagian Keenam
Perubahan Data dan Status Kepesertaan
Pasal 27
(1)  Perubahan data dan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e yang terjadi pada setiap peserta wajib dilaporkan kepada BPJS Kesehatan.
(2)  Perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
a.  fasilitas kesehatan tingkat pertama;
b.  tempat tinggal;
c.  tempat bekerja dan/atau identitas Pemberi Kerja baru;
d.  golongan kepegawaian;
e.  jenis kepesertaan;
f.  susunan keluarga dan/atau jumlah peserta; dan
g.  anggota keluarga tambahan.

Pasal 28
Segala kerugian dan/atau biaya yang terjadi akibat keterlambatan dan/atau kelalaian pelaporan perubahan data Peserta Jaminan Kesehatan menjadi beban Peserta.

Pasal 29
Perubahan status kepesertaan dari Peserta PBI Jaminan Kesehatan menjadi Bukan Peserta PBI Jaminan Kesehatan dilakukan pada saat Peserta membayar iuran untuk pertama kali.

Pasal 30
(1)  Perubahan status kepesertaan dari Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dapat dilakukan bagi:
a.  Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu;
b.  Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan yang mengalami PHK dan tidak mendapatkan pekerjaan kembali dalam waktu 6 (enam) bulan dan dinyatakan tidak mampu untuk menjadi peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan.
(2)  Perubahan status kepesertaan dari Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a.  Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan yang mengalami cacat total melaporkan kondisi kecacatannya kepada Pemerintah Daerah setempat dengan menyertakan keterangan tingkat dan jenis kecacatannya dari dokter yang berwenang;
b.  Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dan tidak mendapatkan pekerjaan kembali dalam waktu 6 (enam) bulan melaporkan kepada Pemerintah Daerah setempat dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berwenang.

Pasal 31
(1)  Pemerintah Daerah melakukan pendataan atas laporan perubahan status kepesertaan dari Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan.
(2)  Pemerintah Daerah mengusulkan perubahan status kepesertaan dari Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan kepada Menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 32
(1)  Menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang sosial melakukan verifikasi atas perubahan status kepesertaan dari Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah.
(2)  Menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang sosial melakukan validasi data Peserta PBI Jaminan Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
(3)  Perubahan dan validasi data peserta PBI Jaminan Kesehatan oleh Menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dilakukan setiap 6 (enam) bulan pada tahun anggaran berjalan dan ditetapkan oleh Menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
(4)  Perubahan dan validasi data peserta PBI Jaminan Kesehatan oleh Menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selanjutnya diserahkan kepada Menteri untuk didaftarkan sebagai Peserta PBI Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.

BAB III
IURAN KEPESERTAAN JAMINAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 33
(1)  Iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib dibayarkan oleh setiap peserta program Jaminan Kesehatan.
(2)  Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulannya pada Bank yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
(3)  Besaran iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 34
(1)  BPJS Kesehatan melakukan pengumpulan dan penagihan pembayaran iuran kepada peserta.
(2)  Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat rincian:
a.  data Peserta; dan
b.  nominal tagihan.

Pasal 35
(1)  Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, membayar iuran yang menjadi tanggung jawabnya, dan menyetor iuran tersebut kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2)  Untuk Pemberi Kerja pemerintah daerah, penyetoran iuran kepada BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekening kas negara paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(3)  Apabila tanggal 10 (sepuluh) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya.
(4)  Keterlambatan pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemberi kerja selain pemberi kerja penyelenggara negara, dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.
(5)  Dalam hal keterlambatan pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 3 (tiga) bulan, penjaminan dapat diberhentikan sementara.

Pasal 36
Iuran peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dibayarkan bagi:
a.  Peserta PBI Jaminan Kesehatan;
b.  Pemberi Kerja;
c.  Pekerja Bukan Penerima Upah;
d.  Bukan Pekerja; dan
e.  Anggota keluarga yang lain.

Bagian Kedua
Peserta PBI Jaminan Kesehatan
Pasal 37
(1)  Iuran peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a dibayarkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)  BPJS Kesehatan setelah menerima pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan rekonsiliasi data dengan Menteri.
(3)  Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan.
(4)  Apabila hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terjadi kurang atau lebih pembayaran, kelebihan atau kekurangan pembayaran tersebut akan diperhitungkan pada pembayaran iuran berikutnya.
(5)  Ketentuan mengenai tata cara penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana iuran dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Bagian Ketiga
Pemberi Kerja
Paragraf 1
Umum
Pasal 38
Pemberi kerja terdiri atas:
a.  Pemberi kerja penyelenggara negara; dan
b.  Pemberi kerja selain penyelenggara negara

Paragraf 2
Pemberi Kerja Penyelenggara Negara
Pasal 39
Pemberi Kerja penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a terdiri atas:
a.  pemerintah; dan
b.  pemerintah daerah.

Pasal 40
(1)  Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a membayarkan iuran peserta Jaminan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Pusat
(2)  Iuran peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan melalui rekening kas negara kepada BPJS Kesehatan setiap bulan.
(3)  BPJS Kesehatan setelah menerima penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan rekonsiliasi data dengan Menteri Keuangan.
(4)  Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setiap 3 (tiga) bulan.
(5)  Apabila hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terjadi kurang atau lebih pembayaran, kelebihan atau kekurangan pembayaran tersebut akan diperhitungkan pada pembayaran iuran berikutnya.
(6)  Tata cara penghitungan, penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 41
(1)  Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 huruf b membayarkan iuran peserta Jaminan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Daerah.
(2)  Iuran peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan melalui rekening kas negara kepada BPJS Kesehatan setiap bulan.
(3)  BPJS Kesehatan setelah menerima penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan rekonsiliasi data dengan Pemerintah Daerah.
(4)  Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setiap 3 (tiga) bulan.
(5)  Apabila hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terjadi kurang atau lebih pembayaran, kelebihan atau kekurangan pembayaran tersebut akan diperhitungkan pada pembayaran iuran berikutnya.
(6)  Tata cara penghitungan, penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Paragraf 3
Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara
Pasal 42
(1)  Pemberi kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 huruf b membayar iuran Jaminan Kesehatan bagi Pekerja dan dirinya dan menyetorkannya kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2)  Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.  Pegawai swasta; dan
b.  Pekerja yang menerima upah selain pekerja yang iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja penyelenggara negara.
(3)  Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekening Virtual Account yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pada saat pendaftaran.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pembayaran iuran diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Bagian Keempat
Pekerja Bukan Penerima Upah
Pasal 43
(1)  Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c membayar iuran Jaminan Kesehatan bagi Pekerja dan dirinya dan menyetorkannya kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2)  Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke rekening Virtual Account yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pada saat pendaftaran.
(3)  Pembayaran Iuran dapat dilakukan untuk masa waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu) tahun.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pembayaran iuran bagi Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Bagian Kelima
Bukan Pekerja
Pasal 44
(1)  Peserta Bukan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d membayar iuran Jaminan Kesehatan bagi dirinya dan menyetorkannya kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2)  Peserta Bukan Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan Penerima pensiun, iuran kepesertaannya dibayarkan oleh Pemerintah.
(3)  Pemerintah membayarkan tambahan iuran bagi Penerima Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah kepada BPJS Kesehatan setiap bulan.
(4)  Penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a.  Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b.  Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c.  Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d.  janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang mendapat hak pensiun;
e.  penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
f.  janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf e yang mendapat hak pensiun.
(5)  Penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membayarkan iuran Jaminan Kesehatan yang menjadi kewajibannya melalui pemotongan uang pensiun oleh pihak ketiga pembayar Pensiun.
(6)  Pihak ketiga pembayar pensiun menyetorkan potongan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(7)  BPJS Kesehatan setelah menerima penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) melakukan rekonsiliasi data dengan Menterian Keuangan dan pihak ketiga pembayar pensiun.
(8)  Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan setiap 3 (tiga) bulan.
(9)  Apabila hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terjadi kurang atau lebih pembayaran, kelebihan atau kekurangan pembayaran tersebut akan diperhitungkan pada pembayaran iuran berikutnya.
(10)  Tata cara penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 45
(1)  Peserta Bukan Pekerja selain yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3), membayar dan menyetor iuran Jaminan Kesehatan bagi dirinya kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2)  Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui rekening Virtual Account yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pada saat pendaftaran peserta.
(3)  Pembayaran Iuran dapat dilakukan untuk masa waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu) tahun.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pembayaran iuran bagi Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Bagian Keenam
Anggota keluarga yang lain
Pasal 46
(1)  Iuran peserta bagi anggota keluarga yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e dari peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dibayarkan oleh peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan disetorkan kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2)  Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekening Virtual Account yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pada saat pendaftaran peserta.
(3)  Pembayaran Iuran dapat dilakukan untuk masa waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu) tahun.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pembayaran iuran bagi Anggota keluarga yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

BAB IV
PENYELENGGARA PELAYANAN KESEHATAN
Bagian kesatu
Umum
Pasal 47
(1)  Setiap peserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.
(2)  Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, fasilitas kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan termasuk fasilitas kesehatan penunjang yang terdiri atas:
a.  laboratorium;
b.  instalasi farmasi Rumah Sakit;
c.  apotek;
d.  unit transfusi darah/Palang Merah Indonesia;
e.  optik;
f.  pemberi pelayanan Consumable Ambulatory Peritonial Dialisis (CAPD); dan
g.  praktek Bidan/Perawat atau yang setara.
(3)  Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan terdiri atas:
a.  pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama;
b.  pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan;
c.  pelayanan gawat darurat;
d.  pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai;
e.  pelayanan ambulance;
f.  pelayanan skrining kesehatan; dan
g.  pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri;

Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Paragraf 1
Umum
Pasal 48
(1)  Pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf a bagi Peserta dilakukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat Peserta terdaftar.
(2)  Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang lain dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan.
(3)  Fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.  Puskesmas atau yang setara;
b.  praktik dokter;
c.  praktik dokter gigi;
d.  klinik Pratama atau yang setara termasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama milik TNI/POLRI;dan
e.  Rumah sakit Kelas D Pratama atau yang setara.

Pasal 49
Pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama terdiri atas:
a.  Pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama;
b.  Pelayanan kesehatan rawat inap tingkat pertama:
c.  Pelayanan kesehatan gigi; dan
d.  Pelayanan kesehatan oleh bidan dan perawat.

Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama
Pasal 50
(1)  Pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama harus memiliki fungsi pelayanan kesehatan yang komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan dan pelayanan kesehatan gawat darurat termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan farmasi.
(2)  Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelayanan medis mencakup:
a.  kasus medis yang dapat diselesaikan secara tuntas di pelayanan Kesehatan tingkat pertama;
b.   kasus medis yang membutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan rujukan;
c.  kasus medis rujuk balik;
d.  pemeriksaan, pengobatan dan tindakan pelayanan kesehatan gigi tingkat pertama;
e.  pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, bayi dan anak balita oleh bidan atau dokter; dan
f.  rehabilitasi medik dasar.
(3)  Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:
a.  administrasi pelayanan yang meliputi biaya administrasi pendaftaran peserta untuk berobat, penyediaan dan pemberian surat rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama;
b.  pelayanan promotif dan preventif yang meliputi kegiatan penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana, skrining kesehatan;
c.  pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d.  pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, dan bayi;
e.  upaya penyembuhan terhadap efek samping kontrasepsi;
f.  tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
g.  pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
h.  pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama berupa pemeriksaan darah sederhana (Hemoglobin, apusan darah tepi, trombosit, leukosit, hematokrit, eosinofil, eritrosit, golongan darah, laju endap darah, malaria), urine sederhana (warna, berat jenis, kejernihan, pH, leukosit, eritrosit), feses sederhana ( benzidin tes, mikroskopik cacing), gula darah sewaktu;
i.  pemeriksaan penunjang sederhana lain yang dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama;
j.  pelayanan rujuk balik dari fasilitas kesehatan lanjutan;
k.  pelayanan program rujuk balik;
l.  pelaksanaan prolanis dan home visit; dan
m.  rehabilitasi medik dasar.

Paragraf 3
Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Tingkat Pertama
Pasal 51
(1)  Pelayanan kesehatan rawat inap tingkat pertama mencakup :
a.  rawat inap pada pengobatan/perawatan kasus yang dapat diselesaikan secara tuntas di pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b.  pertolongan persalinan pervaginam bukan risiko tinggi;
c.  pertolongan persalinan dengan komplikasi dan/atau penyulit pervaginam bagi puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED);
d.  pertolongan neonatal dengan komplikasi; dan
e.  pelayanan transfusi darah sesuai kompetensi fasilitas kesehatan dan/atau kebutuhan medis.
(2)  Pelayanan kesehatan rawat inap tingkat pertama meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup :
a.  Administrasi pelayanan terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan biaya administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau pelayanan kesehatan pasien
b.  pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
c.  perawatan dan akomodasi di ruang perawatan;
d.  tindakan medis kecil/sederhana oleh Dokter ataupun paramedis;
e.  persalinan per vaginam tanpa penyulit maupun dengan penyulit;
f.  pemeriksaan penunjang diagnostik selama masa perawatan;
g.  pelayanan obat dan bahan medis habis pakai selama masa perawatan; dan
h.  pelayanan transfusi darah sesuai indikasi medis.

Paragraf 4
Pelayanan Kesehatan Gigi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Pasal 52
(1)  Pelayanan kesehatan gigi meliputi :
a.  Administrasi pelayanan terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan biaya administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau pelayanan kesehatan pasien;
b.  pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
c.  premedikasi;
d.  kegawatdaruratan oro-dental;
e.  pencabutan gigi sulung (topikal, infiltrasi) ;
f.  pencabutan gigi permanen tanpa penyulit;
g.  obat pasca ekstraksi;
h.  tumpatan komposit/GIC; dan
i.  skeling gigi.
(2)  Pelayanan kesehatan gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter gigi.

Paragraf 5
Pelayanan Kesehatan oleh Bidan dan Perawat
di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Pasal 53
(1)  Dalam hal di suatu kecamatan tidak terdapat dokter berdasarkan penetapan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan dan/atau perawat sesuai dengan kewenangannya.
(2)  Pemberian pelayanan kesehatan oleh Bidan dan Perawat dalam hal suatu kecamatan tidak terdapat dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan bidan dan perawat dengan cakupan pelayanan bidan dan perawat sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
(3)  Bidan dan perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam Pertolongan persalinan, kondisi gawat darurat atau pasien dengan kondisi khusus di luar kompetensi dokter atau dokter gigi fasilitas Kesehatan tingkat pertama.

Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
Paragraf 1
Umum
Pasal 54
(1)  Pelayanan Kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) huruf b harus diberikan kepada peserta berdasarkan rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
(2)  Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.  Klinik utama atau yang setara;
b.  Rumah sakit umum; dan
c.  Rumah sakit khusus.
(3)  Rumah Sakit umum dan Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan c dapat berupa Rumah Sakit milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI, Polri maupun Rumah Sakit Swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Pasal 55
(1)  Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, Fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) wajib melakukan sistem rujukan berjenjang dengan mengacu pada:
a.   peraturan Menteri;
b.   pedoman sistem rujukan nasional; dan
c.   pedoman administrasi pelayanan BPJS Kesehatan.
(2)  Dalam menjalankan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan berjenjang.
(3)  Fasilitas kesehatan dapat melakukan rujukan horizontal dan vertikal.
(4)  Rujukan horizontal dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
(5)  Rujukan vertikal dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Pasal 56
(1)  Peserta dapat dikecualikan dari sistem pelayanan kesehatan rujukan berjenjang pada fasilitas kesehatan pertama apabila:
a.  terjadi keadaan gawat darurat;
b.  bencana;
c.  kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
d.  pertimbangan geografis; dan
e.  pertimbangan ketersediaan fasilitas
(2)  Kekhususan permasalahan kesehatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan.

Pasal 57
(1)  Fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan secara paripurna termasuk penyediaan obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
(2)  Dalam hal pelayanan yang dibutuhkan berupa pelayanan rawat jalan maka pelayanan kesehatan tersebut dapat diberikan dalam satu tempat atau melalui kerjasama fasilitas kesehatan dengan jejaringnya.
(3)  Pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sudah termasuk dalam pembayaran kapitasi atau non kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan INA CBG’s untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan kesehatan diluar kapitasi maupun diluar INA CBG’s yang diberikan oleh fasilitas kesehatan ditur dengan peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Pasal 58
Pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan terdiri atas:
a.  pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan; dan
b.  pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan.

Paragraf 2
Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan
Pasal 59
(1)  Pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a merupakan pelayanan yang bersifat spesialistik dan subspesialistik.
(2)  Pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.  administrasi pelayanan terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan biaya administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau pelayanan kesehatan pasien
b.  pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;
c.  tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis;
d.  pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
e.  pelayanan alat kesehatan;
f.  pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis;
g.  rehabilitasi medis;
h.  pelayanan darah;
i.  pelayanan kedokteran forensik klinik meliputi pembuatan visum et repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik; dan
j.  Pelayanan jenazah diberikan terbatas hanya bagi Peserta meninggal dunia pasca rawat inap di Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tempat pasien dirawat berupa pemulasaran jenazah dan tidak termasuk peti mati.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Paragraf 3
Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Tingkat lanjutan
Pasal 60
(1)  Pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b kepada peserta dilakukan apabila diperlukan berdasarkan indikasi medis yang dibuktikan dengan surat perintah rawat inap dari dokter.
(2)  Pelayanan kesehatan berupa rawat inap tingkat lanjutan mencakup semua pelayanan kesehatan yang diberikan pada rawat jalan tingkat lanjut ditambah dengan akomodasi yang berupa:
a.  perawatan inap non intensif; dan
b.  perawatan inap intensif.
(3)  Akomodasi atau ruang perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut:
a.  ruang perawatan kelas III bagi:
1.  Peserta PBI Jaminan Kesehatan; dan
2.  Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
b.  ruang perawatan kelas II bagi:
1.  Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
2.  Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
3.  Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
4.  Peserta Pekerja Penerima Upah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri dengan gaji atau upah sampai dengan 1,5 (satu koma lima) kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan 1 (satu) anak, beserta anggota keluarganya; dan
5.  Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.
c.  ruang perawatan kelas I bagi:
1.  Pejabat Negara dan anggota keluarganya;
2.  Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun pegawai negeri sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;
3.  Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;
4.  Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;
5.  Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya;
6.  janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan;
7.  Peserta Pekerja Penerima Upah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri dengan gaji atau upah mulai 1,5 (satu koma lima) sampai dengan 2 (dua) kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan 1 (satu) anak, beserta anggota keluarganya; dan
8.  Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I.

Pasal 61
(1)  Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi.
(2)  Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan membayar kelas perawatan peserta sesuai haknya.
(3)  Apabila kelas perawatan sesuai dengan hak peserta telah tersedia, peserta ditempatkan di kelas perawatan yang menjadi haknya.
(4)  Perawatan satu tingkat lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari.
(5)  Dalam hal terjadi perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih dari 3 (tiga) hari, selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan atau berdasarkan persetujuan pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan yang setara.
(6)  Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5), peserta tidak dikenakan urun biaya.

Pasal 62
(1)  Peserta dapat meningkatkan kelas ruang perawatan lebih tinggi dari yang menjadi haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan berdasarkan tarif INA-CBG’s dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
(2)  Peningkatkan kelas ruang perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan.

Bagian Keempat
Pelayanan Gawat darurat
Pasal 63
(1)  Pelayanan gawat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf c dapat dilakukan darurat sesuai dengan indikasi medis pelayanan gawat darurat.
(2)  Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau kecacatan, sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan dengan kreteria tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)  Pelayanan gawat darurat dapat diberikan oleh :
a.  Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama;
b.  Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan;
baik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan maupun tidak bekerjasama.
(4)  Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.

Pasal 64
(1)  Pembayaran pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sudah termasuk dalam komponen kapitasi.
(2)  Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan ditagihkan secara langsung oleh fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Pasal 65
(1)  Penagihan pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dibayar sesuai degan INA-CBG’s.
(2)  Penagihan pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan ditagihkan secara langsung oleh fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
(3)  Pembayaran pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan tarif INA-CBG’s yang berlaku di wilayah tersebut.
(4)  Tarif INA-CBG’s sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kelas Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri.
(5)  Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, menggunakan tarif INA-CBG’s Rumah Sakit kelas D.

Pasal 66
Fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan gawat darurat baik yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, tidak diperkenankan menarik biaya kepada peserta.

Bagian Kelima
Pelayanan Obat, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai
Pasal 67
(1)  Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf d sesuai dengan indikasi medis merupakan hak peserta jaminan kesehatan.
(2)  Pelayanan obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dan/atau rawat inap baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
(3)  Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang diberikan kepada Peserta berpedoman pada daftar obat, dan bahan medis habis pakai, dan alat kesehatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)  Fasilitas kesehatan dan jejaringnya wajib menyediakan pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang dibutuhkan oleh Peserta sesuai indikasi medis.

Pasal 68
(1)  Pelayanan alat kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama sudah termasuk dalam komponen kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan.
(2)  Pelayanan alat kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan sudah termasuk dalam paket INA-CBG’s.
(3)  Fasilitas kesehatan dan jejaringnya wajib menyediakan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh Peserta sesuai indikasi medis.
(4)  Alat kesehatan yang tidak masuk dalam paket INA-CBG’s dibayar dengan klaim tersendiri oleh BPJS Kesehatan.
(5)  Jenis alat kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
(6)  Dalam kondisi khusus untuk keselamatan pasien, alat kesehatan yang tidak termasuk dalam paket INA-CBG’s sebagaimana dimaksud ayat (4) dapat ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Klinis bersama BPJS Kesehatan.
(7)  Alat kesehatan yang sudah termasuk dalam paket INA-CBGs tidak dapat ditagihkan tersendiri kepada BPJS Kesehatan dan tidak dapat dibebankan kepada Peserta.
(8)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan alat kesehatan yang tidak termasuk dalam paket INA-CBG’s sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Pasal 69
(1)  Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai di fasilitas kesehatan tingkat pertama sudah termasuk dalam komponen kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan.
(2)  Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan merupakan salah satu komponen yang dibayarkan dalam paket INA-CBG’s.
(3)  Dalam hal obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur Rumah Sakit.
(4)  Pelayanan obat yang sudah termasuk dalam paket INA-CBGs, baik mengacu pada Formularium Nasional, tidak dapat ditagihkan tersendiri kepada BPJS Kesehatan serta tidak dapat dibebankan kepada Peserta.

Pasal 70
(1)  BPJS Kesehatan menjamin kebutuhan obat dan pemeriksaan penunjang program rujuk balik.
(2)  Program rujuk balik merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang yang dilaksanakan di fasilitas Kesehatan tingkat pertama atas rekomendasi/rujukan dari dokter spesialis/sub spesialis yang merawat.
(3)  Jenis penyakit kronis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2 dan dapat disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku.

Pasal 71
(1)  Obat program rujuk balik diperoleh melalui Apotek atau depo farmasi fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
(2)  Pemeriksaan penunjang program rujuk balik diberikan oleh laboratorium yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan atau sebagai jejaring fasilitas kesehatan tingkat pertama.
(3)  Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar oleh BPJS Kesehatan diluar biaya kapitasi.
(4)  Obat program rujuk balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditagihkan secara kolektif melalui klaim tersendiri kepada BPJS Kesehatan.
(5)  Biaya obat program rujuk balik terdiri atas harga obat yang mengacu pada Formularium Nasional yang ditetapkan oleh Menteri dan ditambah dengan faktor pelayanan dan embalage.
(6)  Pembiayaan obat dan pemeriksaan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan, ketentuan restriksi, dan peresepan maksimal serta pemeriksaan penunjang program rujuk balik diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Bagian Keenam
Pelayanan Ambulans
Pasal 72
(1)  Pelayanan ambulans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf e merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan dengan kondisi tertentu antar fasilitas kesehatan disertai dengan upaya atau kegiatan menjaga kestabilan kondisi pasien untuk kepentingan keselamatan pasien.
(2)  Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
a.  kondisi pasien sesuai indikasi medis berdasarkan rekomendasi medis dari dokter yang merawat;
b.  kondisi kelas perawatan sesuai hak peserta penuh dan pasien sudah dirawat paling sedikit 3 (tiga) hari dikelas satu tingkat diatas haknya; atau
c.  pasien rujuk balik rawat inap yang masih memerlukan pelayanan rawat inap di fasilitas Kesehatan tujuan.
(3)  Pelayanan ambulans hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS atau pada kasus gawat darurat dari fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dengan tujuan penyelamatan nyawa pasien.
(4)  Pelayanan ambulans tidak dijamin untuk pelayanan sebagai berikut:
a.  jemput pasien selain dari fasilitas kesehatan (rumah, jalan, lokasi lain);
b.  mengantar pasien ke selain fasilitas kesehatan;
c.  rujukan parsial (antar jemput pasien atau spesimen dalam rangka mendapatkan pemeriksaan penunjang atau tindakan, yang merupakan rangkaian perawatan pasien di salah satu fasilitas kesehatan);
d.  ambulans/mobil jenazah; dan
e.  pasien rujuk balik rawat jalan.
(5)  Pembiayaan untuk pelayanan ambulans tidak termasuk dalam tarif kapitasi dan INA-CBG’s.
(6)  Dalam hal keadaan gawat darurat, pelayanan ambulans dari fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dapat dilakukan penagihan kepada BPJS Kesehatan.
(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan pelayanan ambulans dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Pelayanan Skrining Kesehatan
Pasal 73
(1)  Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf f diberikan secara perorangan dan selektif.
(2)  Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu meliputi:
a.  diabetes mellitus tipe 2;
b.  hipertensi ;
c.  kanker leher rahim;
d.  kanker payudara; dan
e.  penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)  Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dimulai dengan analisis riwayat kesehatan, yang dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(4)  Dalam hal peserta teridentifikasi mempunyai risiko berdasarkan riwayat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan penegakan diagnosa melalui pemeriksaan penunjang diagnostik tertentu.

(5)  Peserta yang telah terdiagnosa penyakit tertentu berdasarkan penegakan diagnosa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan pengobatan sesuai dengan indikasi medis.
(6)  Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf e dilakukan sesuai dengan indikasi medis.
(7)  Pembiayaan skrining kesehatan tidak termasuk dalam tarif kapitasi dan INA-CBGs.
(8)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan skrining kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENINGKATAN MUTU DAN PENAMBAHAN MANFAAT JAMINAN KESEHATAN
Pasal 74
(1)  Peningkatan mutu dan penambahan manfaat Jaminan Kesehatan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan hasil pengembangan teknologi kesehatan health technology assessment).
(2)  Pengembangan penggunaan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dilakukan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment).
(3)  Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan usulan dari Asosiasi Fasilitas Kesehatan, Organisasi Profesi kesehatan, dan BPJS Kesehatan.
(4)  Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Tim Health Technology Assessment (HTA) yang dibentuk oleh Menteri.
(5)  Tim Health Technology Assessment (HTA) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan yang dikategorikan dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian khusus, dan pelayanan kesehatan lain dengan biaya tinggi.
(6)  Tim Health Technology Assessment (HTA) memberikan rekomendasi kepada Menteri mengenai kelayakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk dimasukkan sebagai pelayanan kesehatan yang dijamin.

(7)  BPJS Kesehatan melakukan analisis dampak finansial dan resiko terhadap implementasi hasil Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment).
(8)  Analisis dampak finansial dan resiko sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan kepada Menteri sebagai pertimbangan penerapan hasil Health Technology Assessment (HTA).

BAB VI
KOMPENSASI
Pasal 75
(1)  Kompensasi wajib diberikan oleh BPJS Kesehatan kepada peserta apabila dalam suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medisnya.
(2)  Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
(3)  Kantor Cabang melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk penetapan daerah belum tersedia fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)  Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a.  penggantian uang tunai;
b.  pengiriman tenaga kesehatan; atau
c.  penyediaan fasilitas kesehatan tertentu.

Pasal 76
(1)  Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (4) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
(2)  Penggantian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 75 ayat (4) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77
(1)  Untuk dapat memperoleh kompensasi uang tunai, peserta yang tinggal di wilayah tidak ada fasilitas Kesehatan memenuhi syarat harus mengikuti prosedur pelayanan rujukan berjenjang sesuai ketentuan yang berlaku.
(2)  Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta mendatangi fasilitas kesehatan tingkat pertama yang terdekat.
(3)  Apabila fasilitas kesehatan tingkat pertama terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut adalah fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka pembayaran atas pelayanan kesehatan sudah termasuk dalam komponen kapitasi tidak ditagihkan tersendiri.
(4)  Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperkenankan memungut tambahan biaya kepada Peserta.
(5)  Apabila fasilitas kesehatan tingkat pertama terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka peserta membayarkan biaya pelayanan kesehatan terlebih dahulu, kemudian peserta menagih kepada BPJS Kesehatan melalui klaim perorangan.
(6)  Klaim perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya diberlakukan pada peserta yang mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
(7)  Dalam kondisi gawat darurat, peserta dapat langsung menuju Rumah Sakit tanpa mengikuti sistem rujukan berjenjang yang berlaku.
(8)  Biaya yang timbul akibat pelayanan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditagihkan oleh Rumah Sakit kepada BPJS Kesehatan, dan peserta tidak dikenakan urun biaya.
(9)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan persyaratan adminitrasi klaim kompensasi uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

Pasal 78
Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) huruf b dan c dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.

Pasal 79
(1)  Apabila suatu daerah ditetapkan sebagai daerah tidak tersedia fasilitas Kesehatan memenuhi syarat, maka Kantor Cabang melakukan analisa kebutuhan tenaga kesehatan tertentu.
(2)  Penyediaan fasiltas kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa penyediaan tim tenaga kesehatan yang dilengkapi dengan peralatan medis untuk memberikan pelayanan medis tertentu sesuai dengan kebutuhan di wilayah yang akan dikunjungi.
(3)  Kantor Cabang BPJS Kesehatan selanjutnya berkoordinasi dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan untuk menentukan mekanisme pengiriman tenaga kesehatan yang antara lain meliputi:
a.  jadwal;
b.  jenis tenaga kesehatan; dan
c.  jumlah tenaga kesehatan.
(4)  Pengiriman tenaga kesehatan yang dijamin BPJS kesehatan dapat dlakukan melalui kerjasama dengan dinas setempat, instansi pemerintah lainnya, maupun swasta.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur tata cara pengiriman tenaga kesehatan diatur dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

BAB VII
KENDALI MUTU DAN KENDALI BIAYA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 80
(1)  Kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan dilakukan untuk menjamin agar pelayanan kesehatan kepada Peserta sesuai dengan mutu yang ditetapkan dan diselenggarakan secara efisien.
(2)  Kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  penilaian atas teknologi kesehatan (Health Technology Assessment) terhadap pengembangan penggunaan pelayanan kesehatan dengan teknologi;
b.  pertimbangan klinis (Clinical Advisory) terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta;
c.  kajian dan evaluasi atas Manfaat Jaminan Kesehatan bagi Peserta; dan
d.  monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan Jaminan Kesehatan oleh fasilitas kesehatan.
(3)  Kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh Menteri.
(4)  Untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan kepada peserta, fasilitas kesehatan dalam memberikan pelayanan:
a.  obat harus mengacu pada Formularium Nasional; dan
b.  Alat Kesehatan harus mengacu pada Kompedium Alat Kesehatan.


Pasal 81
(1)  Pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya.
(2)  Penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta.

Pasal 82
Penyelenggaraan kendali mutu dan biaya oleh fasilitas kesehatan dilakukan melalui:
a.  pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
b.  utilization review dan audit medis;
c.  pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan; dan/atau
d.  pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam pelayanan kesehatan secara berkala yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sistem informasi kesehatan.

Pasal 83
Penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya oleh BPJS Kesehatan dilakukan melalui:
a.  pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan;
b.  pemenuhan standar proses pelayanan kesehatan; dan
c.  pemantauan terhadap luaran kesehatan Peserta.

Bagian Kedua
Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 84
Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya, BPJS Kesehatan membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya yang terdiri dari unsur organisasi profesi, akademisi, dan pakar klinis yang terbagi dalam Tim Koordinasi dan Tim Teknis.

Pasal 85
(1)  Tim Koordinasi sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 berada di tingkat:
a.  Pusat;
b.  Divisi Regional; dan
c.  Cabang
(2)  Tim koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki fungsi dan wewenang melakukan:
a.  sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
b.  utilization review dan audit medis;
c.  pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan; dan
d.  berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam hal:
1.  pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
2.  utilization review dan audit medis; dan
3.  pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.

Pasal 86
(1)  Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 berada di setiap fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
(2)  Tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki fungsi dan wewenang sebagai berikut :
a.  meminta dan mendapatkan informasi untuk kasus tertentu mengenai identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan peserta dalam bentuk salinan/fotokopi rekam medis kepada Fasilitas Kesehatan sesuai kebutuhan; dan
b.  melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam pelayanan kesehatan secara berkala melalui pemanfaatan sistem informasi kesehatan.

Pasal 87
Untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta BPJS Kesehatan, Menteri menetapkan standar tarif pelayanan kesehatan yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.

Pasal 88
(1)  BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada fasilitas kesehatan yang telah memberikan layanan kepada Peserta.
(2)  Besaran pembayaran yang dilakukan BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan di setiap provinsi serta mengacu kepada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)  Asosiasi fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan mengacu pada Keputusan Menteri.
(4)  Dalam hal besaran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disepakati oleh asosiasi fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan, besaran pembayaran atas program Jaminan Kesehatan sebagaimana yang diputuskan oleh Menteri.

BAB VIII
PELAPORAN DAN UTILIZATION REVIEW
Pasal 89
(1)  Fasilitas Kesehatan wajib membuat laporan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan secara berkala setiap bulan kepada BPJS Kesehatan.
(2)  Fasilitas Kesehatan wajib menerapkan Utilization Review secara berkala dan berkesinambungan.
(3)  BPJS Kesehatan melakukan pelaksanaan utilization review dengan mengukur pemanfaatan pelayanan berdasarkan indikator rate, ratio serta unit cost.
(4)  BPJS Kesehatan berdasarkan indikator rate, ratio serta unit cost sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan evaluasi dan umpan balik.
(5)  BPJS Kesehatan melakukan tindak lanjut atas hasil evaluasi dan umpan balik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam rangka pengendalian biaya pelayanan kesehatan.
(6)  Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaporan, Utilization Review ditetapkan dengan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 90
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Januari 2014
DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

FACHMI IDRIS

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Januari 2014.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN