Advanced Search

Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012


Published: 2012-12-05
Read law translated into English here: https://www.global-regulation.com/translation/indonesia/7209379/peraturan-menteri-sosial-nomor-26-tahun-2012.html

Subscribe to a Global-Regulation Premium Membership Today!

Key Benefits:

Subscribe Now for only USD$40 per month.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

No.1218, 2012 KEMENTERIAN SOSIAL. Rehabilitasi Sosial. Korban. Penyalahgunaan. Standar.

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

NOMOR26 TAHUN 2012 TENTANG

STANDAR REHABILITASI SOSIAL KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, perlu disusun norma, standar, prosedur, dan kriteria;

b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial;

c. bahwa korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya berhak atas rehabilitasi sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika;

d. bahwa korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya semakin meningkat yang berdampak sangat luas terhadap

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 2

perseorangan, keluarga, dan masyarakat maka perlu penanganan secara terpadu dan profesional;

e. bahwa Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, maka perlu disempurnakan;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 3

6. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);

7. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4021) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4165);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5211);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5294);

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 4

14. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;

15. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011;

16. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011;

17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI SOSIAL TENTANG STANDAR

REHABILITASI SOSIAL KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Sosial ini, yang dimaksud dengan: 1. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai

acuan dalam melakukan suatu program kegiatan. 2. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan

untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

3. Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya adalah seseorang yang menggunakan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

4. Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya yang selanjutnya disebut Penyalahgunaan NAPZA adalah pemakaian narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dengan maksud bukan untuk pengobatan dan/atau penelitian serta digunakan tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

5. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA adalah upaya untuk mencegah semakin meluasnya penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 5

6. Pembinaan lanjut korban penyalahgunaan NAPZA adalah upaya yang diarahkan pada korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya agar mampu menjaga kepulihan, beradaptasi dengan lingungan sosial dan mandiri.

7. Perlindungan sosial korban penyalahgunaan NAPZA adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial.

8. Advokasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA adalah menolong klien atau sekelompok klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak suatu lembaga atau sistem pelayanan, dan membantu memperluas layanan agar mencakup lebih banyak orang yang membutuhkan.

9. Standar Rehabilitasi Sosial adalah spesifikasi teknis yang dibakukan sebagai acuan dalam melakukan proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

10. Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, adalah lembaga yang melaksanakan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA baik milik Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

11. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

12. Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

13. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.

14. Pendampingan Sosial adalah kegiatan profesional yang dilakukan oleh seseorang baik di luar lembaga maupun di dalam lembaga yang memiliki kompetensi dan kepedulian sosial untuk mendampingi korban Penyalahgunaan NAPZA.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 6

Pasal 2 Tujuan Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA yaitu: a. menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban

Penyalahgunaan NAPZA;

b. memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik; c. memberikan arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitasi

sosial korban Penyalahgunaan NAPZA; dan d. meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara

rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA. Pasal 3

Sasaran standar rehabilitasi sosial meliputi : a. Pemerintah dan pemerintah daerah; dan b. lembaga rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA.

BAB II RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu

Umum Pasal 4

Ruang lingkup Penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial korban Penyalahgunaan NAPZA meliputi :

a. pencegahan; b. rehabilitasi sosial; c. pembinaan lanjut (aftercare);dan d. perlindungan dan advokasi sosial.

Pasal 5 (1) Penyelenggaraan Rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat.

(2) Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Kementerian Sosial.

(3) Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Gubernur dan perangkat daerah dalam hal ini instansi sosial provinsi.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 7

(4) Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Bupati, Walikota dan perangkat daerah dalam hal ini instansi sosial kabupaten/kota.

(5) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu individu, kelompok yang memiliki kepedulian dan komitmen dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, dan lembaga rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA.

Pasal 6 Sasaran penyelenggaraan Korban Penyalahgunaan NAPZA meliputi: a. korban; b. keluarga; dan c. masyarakat.

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 7 Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a merupakan upaya-upaya untuk mencegah semakin meluasnya Penyalahgunaan NAPZA.

Pasal 8 (1) Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA meliputi:

a. primer; b. sekunder; dan c. tersier.

(2) Pencegahan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan upaya untuk mencegah seseorang menyalahgunakan NAPZA.

(3) Pencegahan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan upaya pencegahan yang dilakukan terhadap pengguna agar tidak mengalami ketergantungan terhadap NAPZA.

(4) Pencegahan tersier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan upaya pencegahan terhadap pengguna yang sudah pulih dari ketergantungan NAPZA setelah menjalani rehabilitasi sosial agar tidak mengalami kekambuhan.

Bagian Ketiga Rehabilitasi Sosial

Pasal 9 Rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b bertujuan agar :

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 8

a. korban penyalahgunaan NAPZA dapat melaksanakan keberfungsian sosialnya yang meliputi kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, dan aktualisasi diri;dan

b. terciptanya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA.

Pasal 10 Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dalam bentuk : a. motivasi dan diagnosis psikososial; b. perawatan dan pengasuhan; c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. bimbingan mental spiritual; e. bimbingan fisik; f. bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. pelayanan aksesibilitas; h. bantuan dan asistensi sosial; i. bimbingan resosialisasi; j. bimbingan lanjut; dan/atau k. rujukan.

Pasal 11 (1) Tahapan Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dengan :

a. pendekatan awal; b. pengungkapan dan pemahaman masalah; c. penyusunan rencana pemecahan masalah; d. pemecahan masalah; e. resosialisasi; f. terminasi; dan g. pembinaan lanjut

(2) Tahapan Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan di dalam dan/atau luar lembaga rehabilitasi sosial.

Pasal 12 (1) Pendekatan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf

a merupakan rangkaian kegiatan yang mengawali keseluruhan proses rehabilitasi sosial, terdiri atas kegiatan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi, dan penerimaan.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 9

(2) Kegiatan yang mengawali proses rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menyampaikan informasi kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial guna memperoleh dukungan dan data awal korban penyalahgunaan NAPZA.

Pasal 13

(1) Pengungkapan dan pemahaman masalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b merupakan kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual, dan budaya.

(2) Pengungkapan dan pemahaman masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dibahas dalam pembahasan kasus.

Pasal 14

Penyusunan rencana pemecahan masalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c merupakan kegiatan penyusunan rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metoda, strategi dan teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan indikator keberhasilan.

Pasal 15 Pemecahan masalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana pemecahan masalah yang telah disusun.

Pasal 16 Resosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja.

Pasal 17 (1) Terminasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf f

merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial kepada korban Penyalahgunaan NAPZA.

(2) Terminasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal :

a. korban telah selesai mengikuti rehabilitasi sosial; b. keinginan korban sendiri tidak melanjutkan rehabilitasi sosial; c. korban meninggal dunia; dan d. keterbatasan lembaga rehabilitasi sosial sehingga diperlukan

sistem rujukan.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 10

Pasal 18 Pembinaan lanjut tahapan rehabillitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf g merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.

Bagian Keempat

Pembinaan Lanjut (After Care) Pasal 19

(1) Pembinaan lanjut merupakan upaya yang diarahkan kepada korban penyalahgunaan NAPZA yang telah selesai mengkuti proses rehabilitasi sosial, baik di dalam maupun di luar lembaga.

(2) Pembinaan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar korban penyalahgunaan NAPZA mampu:

a. melaksanakan fungsi sosial; b. menjaga kepulihan; c. mengembangkan kewirausahaan untuk mencapai kemandirian

ekonomi; dan

d. menciptakan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial secara kondusif.

(3) Pembinaan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan: a. penguatan potensi diri dan pemeliharaan kepulihan terhadap

korban penyalahgunaan NAPZA;

b. informasi dan konsultasi terhadap bekas korban penyalahgunaan NAPZA;

c. hasil penjangkauan, pemetaan, dan/atau verifikasi data korban penyalahgunaan NAPZA;

d. kerja dan/atau pendidikan terhadap bekas korban penyalahgunaan NAPZA;

e. rumah usaha seperti Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi korban penyalahgunaan NAPZA;

f. pendampingan perseorangan dan/atau kelompok terhadap korban penyalahgunaan NAPZA; dan

g. keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar korban penyalahgunaan NAPZA.

Pasal 20 (1) Pembinaan penguatan potensi diri dan pemeliharaan kepulihan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a meliputi :

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 11

a. penguatan minat bakat; b. penguatan fungsi sosial; dan c. penguatan motivasi.

(2) Pembinaan informasi dan konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf b meliputi:

a. pembinaan pemahaman komitmen terhadap informasi; b. pembinaan pemahaman komitmen terhadap konsultasi; dan c. pembinaan pelaksanaan komitmen terhadap informasi dan

konsultasi. (3) Pembinaan hasil penjangkauan, pemetaan, dan/atau verifikasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf c meliputi: a. pelaksanaan pemetaan dan/atau verifikasi; b. pengelolaan data hasil pemetaan dan/atau verifikasi; c. pengembangan data korban penyalahgunaan NAPZA; dan d. penggunaan data korban penyalahgunaan NAPZA.

(4) Pembinaan kerja dan/atau pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf d meliputi:

a. pembinaan dan penyaluran ke dunia pendidikan/sekolah; b. pembinaan dan penyaluran ke dunia usaha/kerja;

(5) Pembinaan rumah usaha seperti Usaha Ekonomis Produktif (UEP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf e meliputi:

a. penumbuhan Usaha Ekonomi Produktif (UEP); b. pembinaan Usaha Ekonomi Produktif (UEP); c. pendampingan Usaha Ekonomi Produktif (UEP); dan d. pengembangan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

(6) Pembinaan pendampingan perseorangan dan/atau kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf f meliputi: a. pendampingan perseorangan; dan b. pendampingan kelompok.

(7) Pembinaan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf g meliputi:

a. penguatan keluarga dan/atau lingkungan masyarakat; dan b. pembinaan keluarga dan/atau lingkungan masyarakat.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 12

Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai Teknis Tahapan Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial.

Bagian Kelima

Perlindungan dan Advokasi Sosial Pasal 22

Perlindungan dan advokasi sosial merupakan upaya mencegah dan menangani dampak buruk serta membela korban Penyalahgunaan NAPZA untuk mendapatkan hak-haknya.

Pasal 23 Perlindungan dan advokasi sosial sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, bertujuan : a. tersedianya rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA

didasarkan atas hak asasi manusia; b. tersedianya kebutuhan rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan

NAPZA; c. tersedianya pendampingan bagi korban penyalahgunaan NAPZA apabila

menghadapi kasus-kasus tertentu.

BAB III SUMBER DAYA MANUSIA

Bagian Kesatu Petugas Rehabilitasi Sosial

Pasal 24

(1) Petugas Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA dilakukan oleh Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

(2) Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berperan sebagai manajer kasus, konselor adiksi, pendamping sosial, dan advokasi sosial sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya

(3) Pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berperan membantu penyelenggaaraan rehabilitasi sosial sesuai dengan keahlian/ilmunya masing-masing di dalam dan/atau di luar lembaga.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 13

Pasal 25 (1) Peranan manajer kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat

(2) meliputi kegiatan identifikasi kebutuhan, merencanakan, mengoordinasikan, memantau, mengevaluasi dan melakukan advokasi sosial untuk berbagai jenis pelayanan bagi korban Penyalahgunaan NAPZA dan keluarganya;

(2) Peranan konselor adiksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) meliputi kegiatan memberikan pemahaman, mendorong ke arah perubahan, dan memfasilitasi penentuan alternatif pemecahan masalah korban Penyalagunaan NAPZA baik secara individu maupun kelompok;

(3) Peranan pendamping sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) meliputi kegiatan menjalin relasi, memperkuat dukungan, mendayagunakan potensi dan sumber pelayanan serta meningkatkan akses dalam rangka memecahkan masalah korban penyalagunaan NAPZA.

(4) Peranan advokat sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) meliputi kegiatan mengupayakan perlindungan dan memperjuangkan hak-hak korban Penyalahgunaan NAPZA.

Bagian Kedua Pendampingan Sosial

Pasal 26 (1) Pendampingan sosial dilakukan dalam rangka meningkatkan

efektivitas penyelenggaran pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.

(2) Pendampingan sosial dilaksanakan di dalam dan/atau di luar lembaga.

(3) Pendampingan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam kegiatan rehabilitasi sosial, pembinaan lanjut, perlindungan dan advokasi sosial.

Pasal 27

Pendampingan sosial dapat dilakukan oleh Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang terlatih.

Pasal 28 (1) Pendampingan sosial dilakukan melalui kegiatan :

a. membangun kepercayaan korban penyalahgunaan NAPZA; b. memahami permasalahan korban Penyalahgunaan NAPZA;

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 14

c. meningkatkan pemahaman korban tentang bahaya Penyalahgunaan NAPZA;

d. menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah bagi korban; dan

e. melakukan perubahan perilaku korban penyalahgunaan NAPZA. (2) Pendampingan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan

agar korban : a. mampu meningkatkan kepercayaan diri; b. mampu mandiri; dan c. menjaga kepulihan agar tidak kambuh atau relapse.

BAB IV PERAN MASYARAKAT

Pasal 29 (1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

berperan dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh: a. perseorangan; b. keluarga ; c. organisasi keagamaan; d. organisasi sosial kemasyarakatan; e. lembaga swadaya masyarakat; f. organisasi profesi; g. badan usaha; h. lembaga kesejahteraan sosial; dan/atau i. lembaga kesejahteraan sosial asing.

Pasal 30 (1) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dapat

berbentuk pemikiran, tenaga, sarana, dan dana. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain

melalui kegiatan : a. membuat forum komunikasi; b. melakukan penelitian; c. membentuk lembaga rehabilitasi; d. mengadakan seminar dan diskusi;

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 15

e. memberikan saran dan pertimbangan dalam program rehsos penyalahgunaan NAPZA;

f. menyediakan sumber daya manusia pelaksana rehablitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

g. melaporkan penyalahgunaan NAPZA kepada pihak yang berwenang;dan/atau

h. memberikan pelayanan kepada Korban Penyalahgunaan NAPZA. BAB V

KEWENANGAN Bagian Kesatu

Pemerintah Pasal 31

(1) Menteri mempunyai kewenangan : a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dan program dalam

penerapan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

b. melaksanakan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA melalui Unit Pelaksana Teknis dengan lembaga-lembaga sesuai dengan standar lembaga;

c. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan oleh lembaga rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

d. melakukan pendataan secara nasional terhadap penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA secara nasional; dan

e. meningkatkan pelayanan rehabilitasi sosial; (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Menteri. Bagian Kedua

Provinsi

Pasal 32 Gubernur memiliki kewenangan :

a. berkoordinasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA antar-Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan antarkabupaten/kota di wilayahnya;

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 16

b. bekerja sama dengan Provinsi lain dan kabupaten/kota di Provinsi lain, serta fasilitasi kerja sama antarKabupaten/kota di wilayahnya dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan;

c. melakukan penguatan kapasitas kelembagaan termasuk peningkatan sumber daya manusia untuk pelaksanaan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

d. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan rehabiltasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA kabupaten/kota;

e. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pelaksanaan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

f. menghimpun, pemetaan dan verifikasi pendataan penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA lingkup provinsi; dan

g. menyediakan pelayanan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

Bagian Ketiga

Kabupaten/Kota Pasal 33

Bupati/walikota memiliki kewenangan :

a. berkoordinasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA di wilayah kabupaten/kota;

b. bekerja sama dengan Kabupaten/Kota dalam satu provinsi dan kerjasama antarkabupaten/kota di provinsi lainnya dalam pelaksanaan kebijakan program kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. melakukan penguatan kapasitas kelembagaan termasuk peningkatan sumber daya manusia untuk pelaksanaan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

d. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pelaksanaan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

e. melaksanakan pendataan penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA; dan

f. menyediakan pelayanan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA;

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 17

BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 34 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan

kebijakan, program, dan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA kepada pemerintah provinsi.

(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA kepada pemerintah kabupaten/kota.

(3) Walikota/Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA oleh lembaga rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

BAB VII PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Bagian Kesatu Pemantauan

Pasal 35 (1) Untuk menjamin sinergi, kesinambungan, dan efektivitas langkah-

langkah secara terpadu dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pengembangan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pemantauan.

(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengetahui perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

(3) Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung terhadap satuan kerja perangkat daerah yang melaksanakan kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

Pasal 36 Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 bertujuan untuk mengetahui: a. kegiatan yang dilaksanakan; b. permasalahan yang timbul dalam proses kegiatan; c. metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan kegiatan; d. perubahan perilaku klien; dan e. peningkatan kualitas hidup.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 18

Bagian Kedua Evaluasi Pasal 37

(1) Evaluasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Hasil evaluasi kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusun kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA untuk tahun berikutnya.

Bagian Ketiga Supervisi Pasal 38

(1) Supervisi terhadap pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh : a. Pemerintah oleh Menteri; b. Pemerintah provinsi oleh Gubernur;dan c. Pemerintah kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.

(2) Masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan supervisi terhadap kinerja lembaga rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

BAB VIII PELAPORAN

Pasal 39 (1) Bupati/Walikota berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan

kebijakan, program, dan kegiatan penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan oleh lembaga rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA di daerahnya kepada gubernur.

(2) Gubernur berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA di daerahnya kepada Menteri Sosial dan Menteri Dalam Negeri.

(3) Setiap lembaga rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA wajib membuat laporan tertulis pelaksanaan kegiatan setiap akhir tahun mengenai penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA kepada instansi sosial setempat.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 19

(4) Pelaporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan setiap tahun.

(5) Bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

BAB IX PENDANAAN

Pasal 40 (1) Sumber pendanaan untuk pelaksanaan rehabilitasi sosial korban

penyalahgunaan NAPZA meliputi :

a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara; b. anggaran pendapatan belanja daerah provinsi; c. anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten/kota; d. sumbangan masyarakat; dan/atau e. sumber pendanaan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(2) Penyediaan dana bagi pelaksanaan kegiatan penerapan rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP Pasal 41

Dengan ditetapkannya peraturan ini, Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan ini dibuat sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mengatur mengenai Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya yang menjadi acuan bagi pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pasal 43

Peraturan Menteri Sosial ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

www.djpp.depkumham.go.id

2012, No.1218 20

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Sosial ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 November 2012 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

SALIM SEGAF AL JUFRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

www.djpp.depkumham.go.id