Advanced Search

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2013 Tahun 2013


Published: 2013-06-24
Read law translated into English here: https://www.global-regulation.com/translation/indonesia/2963266/peraturan-menteri-kelautan-dan-perikanan-nomor-12-permen-kp-2013-tahun-2013.html

Subscribe to a Global-Regulation Premium Membership Today!

Key Benefits:

Subscribe Now for only USD$40 per month.

Teks tidak dalam format asli.
Kembali


image
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 862, 2013 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Wilayah Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolan. Pengawasan.


PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12/PERMEN-KP/2013
TENTANG
PENGAWASAN PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:  a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (4) dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perlu mengatur pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pengawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;

Mengingat :   1.   Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
2.  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5151);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5154);
6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141);
7.  Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);
8. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 266);
9. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 267);
10.Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 61/P Tahun 2012;
11.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
12.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
13.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya;
14.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PENGAWASAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut PWP3K, adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
4. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
5. Penindakan non-yustisiil adalah tindakan pertama yang diambil secara nonyustisiil terhadap setiap gangguan yang terjadi pada proses penegakan, selanjutnya diserahkan/diselesaikan oleh masing-masing unsur penegak hukum yang berwenang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
6. Patroli adalah suatu bentuk kegiatan bergerak dari suatu tempat ke tempat tertentu guna mencegah dan menangkal terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang PWP3K.
7. Laporan/Pengaduan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang kepada Polsus PWP3K tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K.
8. Pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat adanya kegiatan orang sehingga kualitas pesisir dan pulau-pulau kecil turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
9.  Perusakan adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memenuhi kriteria kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
10.Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
11.Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.
12.Rehabilitasi adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya dapat berbeda dari kondisi semula.
13.Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan social ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase.
14.Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan PWP3K secara berkelanjutan.
15.Mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
16.Kementerian adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
17.Menteri adalah Menteri Kelautan dan Perikanan.
18.Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.
19.Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi :
a. pengawas PWP3K;
b. wewenang dan tugas Polsus PWP3K;
c. pelaksanaan pengawasan PWP3K;
d. pembinaan; dan
e. pakaian dan atribut.

BAB II
PENGAWAS PWP3K
Pasal 3
(1) Untuk menjamin terselenggaranya PWP3K secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berwenang sesuai dengan sifat pekerjaaannya.
(2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan wewenang kepolisian khusus yang selanjutnya disebut Polsus PWP3K.

Pasal 4
(1)  Polsus PWP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2) Menteri dalam pelaksanaannya mendelegasikan pengangkatan dan pemberhentian Polsus PWP3K kepada Direktur Jenderal.

Pasal 5
(1) Persyaratan untuk diangkat sebagai Polsus PWP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi:
a.  pegawai negeri sipil yang membidangi pengawasan PWP3K sesuai dengan sifat pekerjaan yang dimilikinya, dengan pangkat paling rendah Pengatur Muda Tingkat I Golongan Ruang II/b dengan pendidikan paling rendah setingkat SLTA; dan
b.  telah mengikuti pelatihan kepolisian khusus yang dibuktikan dengan sertifikat kelulusan.
(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian atau Pemerintah Daerah.
(3) Pelatihan kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 6
Pemberhentian Polsus PWP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, apabila yang bersangkutan:
a. dialihtugaskan dari bidang pengawasan PWP3K;
b. mengundurkan diri sebagai Polsus PWP3K;
c. kartu tanda anggota Polsus dicabut;
d. tugas belajar lebih dari 6 bulan;
e. cuti diluar tanggungan Negara;
f.  berhalangan tetap;
g. sedang menjalani proses hukum;
h. menjalani hukuman disiplin tingkat berat; dan/atau
i.  diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Pasal 7
Pengangkatan dan Pemberhentian Polsus PWP3K yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 diusulkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

BAB III
WEWENANG, TUGAS, DAN WILAYAH HUKUM
Pasal 8
(1) Polsus PWP3K berwenang:
a.  mengadakan patroli/perondaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau wilayah hukumnya; serta
b. menerima laporan/pengaduan yang menyangkut perusakan ekosistem pesisir, kawasan konservasi, kawasan pemanfaatan umum, dan kawasan strategis nasional tertentu.
(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Polsus PWP3K mempunyai tugas polisional lainnya.

Pasal 9
(1) Patroli/perondaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. patroli/perondaan rutin; dan
b. patroli/perondaan khusus.
(2) Patroli/perondaan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penugasan patroli yang bersifat inspeksi dan diselenggarakan untuk memantau keadaan daerah atau beberapa tempat yang menurut perkiraan akan timbulnya gangguan terhadap ketertiban dalam PWP3K.
(3) Patroli/perondaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penugasan patroli yang diperintahkan secara khusus yang bersifat represif non-yustisiil atau penindakan di lapangan sesuai tuntutan atau kebutuhan yang ada dalam upaya penegakan tertib peraturan perundang-undangan di bidang PWP3K.
(4) Apabila dalam patroli/perondaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) patut diduga adanya perusakan/pelanggaran, dapat dilakukan:
a. pemeriksaan kesesuaian dokumen rencana zonasi dengan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
b. pengambilan contoh/sampel dari suatu tempat kegiatan, apabila diperlukan;
c. meminta informasi dan/atau keterangan dari berbagai pihak terkait;
d. tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang PWP3K.

Pasal 10
(1) Polsus PWP3K melakukan patroli/perondaan dengan cara:
a. berjalan kaki;
b. menggunakan moda transportasi darat;
c. menggunakan moda transportasi laut/perairan; dan/atau
d. menggunakan moda transportasi lainnya.

Pasal 11
(1) Polsus PWP3K melakukan patroli/perondaan berdasarkan surat tugas dari atasan Polsus PWP3K, dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada pemberi tugas.
(2) Bentuk dan format surat tugas dan laporan hasil pelaksanaan patroli/perondaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini

Pasal 12
Polsus PWP3K dalam melakukan patroli/perondaan dilengkapi dengan:
a. pakaian seragam dan atribut;
b. kartu tanda anggota;
c. peralatan pengamanan berupa pentungan, borgol, atau lainnya; dan
d. senjata api dan/atau senjata tajam.

Pasal 13
(1) Polsus PWP3K menerima laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b berasal dari masyarakat baik secara lisan maupun tertulis.
(2) Dalam hal lokasi perusakan/pelanggaran sulit dijangkau layanan transportasi, laporan/pengaduan secara lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui telepon maupun moda komunikasi lainnya.
(3) Laporan/pengaduan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui:
a. surat;
b. surat elektronik;
c. faksimili; dan/atau
d. layanan pesan singkat.

Pasal 14
Polsus PWP3K menindaklanjuti laporan/pengaduan dengan tahapan:
a. penerimaan;
b. penelaahan;
c. pemeriksaan lapangan.

Pasal 15
(1) Penerimaan laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dilakukan oleh Polsus PWP3K yang dituangkan dalam lembar penerimaan laporan/pengaduan.
(2) Penerimaan terhadap laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi mengenai:
a. identitas pelapor/pengadu yang paling sedikit memuat informasi nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;
b. identitas penerima laporan/pengaduan;
c. lokasi terjadinya perusakan/pelanggaran bidang PWP3K;
d. waktu terjadinya perusakan/pelanggaran bidang PWP3K; dan
e. hal yang dilaporkan.
(3) Bentuk dan format lembar penerimaan laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 16
(1) Sebagai bukti penerimaan laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Polsus PWP3K memberikan tanda terima kepada pelapor/pengadu.
(2) Tanda terima laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. identitas pelapor/pengadu;
b. identitas penerima laporan/pengaduan;
c. nomor registrasi laporan/pengaduan; dan
d. hal yang dilaporkan/diadukan.
(3) Bentuk dan format tanda terima laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 17
(1) Penelaahan laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dilakukan terhadap setiap laporan/pengaduan yang terkait dengan PWP3K.
(2) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada atasan polsus PWP3K, berupa rekomendasi:
a. tindak lanjut pemeriksaan lapangan; atau
b. penolakan.
(3) Apabila rekomendasi berupa tindak lanjut pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, atasan Polsus PWP3K menerbitkan surat tugas untuk melakukan pemeriksaan lapangan.
(4) Apabila rekomendasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, atasan Polsus PWP3K menerbitkan surat penolakan atas laporan/pengaduan untuk disampaikan kepada pelapor/pengadu disertai alasan.
(5) Bentuk dan format surat tugas dan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 18
(1) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c dilakukan dengan mendatangani lokasi terjadinya perusakan/ pelanggaran untuk memeriksa kebenaran informasi, dengan cara:
a. meminta informasi dan/atau keterangan dari berbagai pihak terkait;
b. mengambil sampel dan/atau contoh, apabila diperlukan; dan
c. melakukan dokumentasi.
(2) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan lapangan.
(3) Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menjadi:
a. dugaan adanya perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K;
b. tidak ditemukan adanya perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K.
(4) Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada atasan Polsus PWP3K disertai dengan berita acara pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Bentuk dan format berita acara pemeriksaan lapangan dan laporan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 19
(1) Berdasarkan laporan hasil pemerikaan lapangan berupa dugaan adanya perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a, atasan Polsus PWP3K menindaklanjutinya dengan:
a.  menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin bahwa adanya dugaan perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K;
b. menyampaikan laporan kepada aparat yang berwenang dalam hal adanya indikasi tindak pidana di bidang PWP3K; dan/atau
c.  memberitahukan kepada pelapor/pengadu.
(2) Berdasarkan laporan hasil pemerikaan lapangan berupa tidak ditemukan adanya perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b, atasan Polsus PWP3K menindaklanjutinya dengan memberitahukan kepada pelapor/pengadu bahwa tidak ditemukan perusakan/pelanggaran di bidang PWP3K.

Pasal 20
(1) Polsus PWP3K mempunyai tugas polisional lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) meliputi:
a. sebagai mitra Polri dalam melaksanakan tugas penegakan peraturan perundang-undangan, yang bersifat pre emptif, preventif, dan represif non-yustisiil; dan
b. menangkal, menangkap, menyelidiki, serta membuat laporan kejadian atas setiap kegiatan yang ditanganinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tugas penegakan peraturan perundang-undangan yang bersifat pre emptif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. sosialisasi dan penyuluhan; dan
b. kegiatan pembinaan kemasyarakatan.
(3) Tugas penegakan peraturan perundang-undangan yang bersifat preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a.  penjagaan pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
b.  mengidentifikasi tingkat kerawanan, gangguan, dan ancaman terhadap kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
c.  kegiatan-kegiatan lain yang dapat membatasi kesempatan, peluang, dan kemungkinan terjadinya perusakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
(4) Tugas penegakan peraturan perundang-undangan yang bersifat represif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. penanggulangan gangguan dan ancaman terhadap kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil:
b. melaksanakan penanganan barang bukti tindak pidana di bidang PWP3K; dan
c. membantu proses penyidikan tindak pidana di bidang PWP3K berdasarkan perintah penyidik.

Pasal 21
Wilayah hukum Polsus PWP3K, meliputi:
a. wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi Polsus PWP3K yang berasal dari pejabat pegawai negeri sipil pada tingkat Kementerian, yang diimplementasikan melalui unit-unit pelaksana teknis kementerian sesuai dengan wilayah kerjanya masing-masing;
b. wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada wilayah kewenangan provinsi bagi Polsus PWP3K yang berasal dari pegawai negeri sipil di pemerintah daerah provinsi;
c. wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada wilayah kewenangan kabupaten/kota bagi Polsus PWP3K yang berasal dari pegawai negeri di pemerintah daerah kabupaten/kota.

BAB IV
PELAKSANAAN PENGAWASAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Pasal 22
(1) Pengawasan PWP3K meliputi perencanaan dan pelaksanaan PWP3K.
(2) Pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan PWP3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pengawasan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal:
a. pengumpulan dan perolehan dokumen rencana pengelolaan;
b. pertukaran data dan informasi;
c. tindak lanjut laporan/pengaduan;
d. pemeriksaan sampel;
e. kegiatan lain untuk menunjang pelaksanaan pengawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 23
Pelaksanaan pengawasan PWP3K mengacu pada dokumen rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 24
(1) Polsus PWP3K melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan di:
a. kawasan pemanfaatan umum;
b. kawasan konservasi;
c. Kawasan Strategis Nasional Tertentu; dan
d. alur laut.
(2) Pengawasan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus memperhatikan kearifan lokal dan masyarakat adat.

Pasal 25
Kawasan pemanfaatan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a meliputi zona:
a. pariwisata;
b. pemukiman;
c. pelabuhan;
d. pertanian;
e. hutan;
f.  pertambangan;
g. perikanan budidaya;
h. perikanan tangkap;
i.  industri;
j.  infrastruktur umum; dan
k. zona pemanfaatan terbatas sesuai dengan karakteristik biogeofisik lingkungannya.

Pasal 26
(1)  Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b meliputi:
a. konservasi perairan;
b. konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. konservasi maritim; dan/atau
d. sempadan pantai.
(2)  Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari zona:
a. inti;
b. perikanan berkelanjutan;
c. pemanfaatan; dan
d. lainnya.
(3)  Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, terdiri dari zona:
a. inti;
b. pemanfaatan terbatas; dan
c. lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan.

Pasal 27
Kawasan strategis nasional tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c meliputi zona:
a. pertahanan keamanan;
b. situs warisan dunia;
c. perbatasan; dan
d. pulau-pulau kecil terluar.

Pasal 28
Alur laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf d meliputi:
a. alur pelayaran;
b. alur sarana umum;
c. alur migrasi ikan; dan
d. pipa dan kabel bawah laut.

Pasal 29
Polsus PWP3K selain melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 juga melakukan pengawasan terhadap kegiatan:
a. rehabilitasi;
b. reklamasi; dan
c. mitigasi bencana.

BAB V
PEMBINAAN
Pasal 30
Pembinaan kepada Polsus PWP3K meliputi:
a. pembinaan administrasi; dan
b. pembinaan teknis.

Pasal 31
Pembinaan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, dilakukan oleh:
a. Direktur Jenderal bagi Polsus PWP3K Kementerian;
b. gubernur atau bupati/walikota bagi Polsus PWP3K di lingkungan Pemerintah Daerah.

Pasal 32
Pembinaan teknis pengawasan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b dilakukan oleh:
a. Direktur Jenderal untuk teknis pengawasan PWP3K; dan
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk teknis kepolisian khusus.

BAB VI
PAKAIAN DAN ATRIBUT
Pasal 33
(1) Dalam setiap melaksanakan tugas Polsus PWP3K dilengkapi dan wajib menggunakan:
a. pakaian dinas; dan
b. atribut.
(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai pakaian dinas dan atribut diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

BAB VII
PENUTUP
Pasal 34
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2013
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA,

SHARIF C. SUTARDJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN



Lampiran: bn862-2013